Oleh : Rendra, TACB Hulu Sungai Selatan

Rabu tanggal 20 Desember 2023 jam 07.00 pagi penulis bertolak dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kab.HSS) menuju ke arah Utara menyerong sedikit ke Barat Laut tepatnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kab.HSU) yakni bekas Ibukota Kerajaan kuno “Nagara Dipa” sebuah kerajaan semi-modern di kawasan Hulu Sungai yang merupakan akar dari kerajaan-kerajaan dan peradaban penerusnya yang kelak menelurkan suku-bangsa Banjar di Kalimantan Selatan.

Namun faktanya kini, Kab. HSU bukanlah lagi kabupaten paling utara yang berada di kawasan Hulu Sungai, dikarenakan dahulu bagian paling utara dari Kab.HSU telah memisahkan diri dan melakukan pemekaran menjadi Kabupaten Tabalong yang dibentuk dari penyatuan sebagian ex daerah utara Kab. HSU dengan sebagian kawasan tanah Dusun.

Hal yang demikian itu juga terjadi di Kab. HSS dimana faktanya sekarang daerah Hulu Sungai yang paling selatan bukan lagi Kab.Hulu Sungai Selatan melainkan Kab. Tapin, mengapa ? karna dahulu Kab.Tapin merupakan Kewedanaan (setingkat kecamatan) yang berada paling selatan di Kab. HSS dimana kelak pada tahun 1965 kewedanaan Rantau juga melakukan pemekaran menjadi Kab.Tapin saat ini.

Menggunakan bebek matic, penulis meluncur dari Kab. HSS dengan iringan angin sepoi-sepoi pagi yang sejuk membuat semangat yang baru tumbuh masih fresh. Namun terbesit dalam hati “udara kawasan Hulu Sungai yang nyaman ini entah sampai kapan bisa bertahan”.

Namun sesampainya di daerah sekitar desa Pamangkih Kab. Hulu Sungai Tengah (Kab. HST) penulis agak terganggu konsentrasinya, sebab naluri seorang Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) langsung mendominasi fikiran, ketertarikan besar pada rumah-rumah adat Banjar klassik langsung memghampiri ketika melihat ada beberapa rumah adat Banjar yang masih sangat bagus berada di pinggir jalan utama dari HST – HSU yang berada disekitar wilayah Pamangkih.

Hingga kira-kira hampir pukul 08.00 sampailah di gerbang perbatasan  Nagara Dipa dan District Laboean Amas yang berada tepat di desa Sungai Buluh. Penulis kemudian mempotret tugu perbatasan itu dan mengirimkannya kepada salah seseorang cendekia yang sudah penulis anggap sebagai guru pribadi. Pa Norpikriadi namanya, seorang sejarawan, penulis dan seorang guru sejarah disebuah Mandrasah Aliyah di kota Amuntai. Kebetulan hari itu beliau bertugas sebagai pemantik diskusi pada acara seminar sejarah yang akan diadakan di kota “Nagara Dipa” tersebut.

Akhirnya, dengan mengikuti petunjuk beliau mengenai arah jalan sampai lah penulis di rumah baru beliau, di daerah Tapus. Dari sana kami berbarengan menuju gedung Idham Chalid untuk mengikuti “SEMINAR SEJARAH NASIONAL CANDI AGUNG DALAM PENDEKATAN SEJARAH”.

Suasana seminar (dokumentasi penulis)

Di halaman gedung, ada banyak guru sejarah dari Tabalong, Balangan dan Amuntai yang berkumpul. Disana penulis juga bertemu Pa Hairiyadi seorang begawan sejarah yang telah banyak mendidik para guru-guru Sejarah di Kalimantan Selatan. Tak terkecuali Pak Norpikriadi dan Pak Wajidi (Moderator seminar sejarah hari itu) yang juga tak lain adalah murid dari Pa Hairiyadi sewaktu di bangku perguruan tinggi.

Setelah lama berbincang dan berfoto di halaman gedung. Lalu kami masuk ke Gedung. Sebelumnya penulis juga bertemu Ibu Hatmiati Mas’ud seorang perempuan hebat, mantan Komisioner KPU Kalimantan Selatan priode 2018-1023, beliau juga seorang sastrawan wanita tersohor yang berasal dari bumi Nagara Dipa ini. Beberapa bulan yang telah lalu ia baru saja memenangkan juara 1 pada kategori kritik sastra di Banjarmasin pada perhelatan Aruh Sastra Kalimantan Selatan yang ke XX.

Bersama Ibu Hatmiati yang baik hati dan selalu riang gembira, kami mencari tempat duduk yang bersebelahan. Kami mendapat tempat duduk disebelah kiri agak kebelakang. Sembari berbincang dan bercerita berbagai hal, kami juga menyimak acara yang baru saja di mulai dengan sambutan-sambutan para pejabat dinas setempat.

Acara berlangsung seru, para narasumber memaparkan beberapa hal terkait kesejarahan dari candi Agung, dibuka dan diarahkan oleh Pa Wajidi seorang Sejarawan yang juga merupakan panutan penulis khususnya terkait sejarah Revolusi kemerdekaan di Kalimantan Selatan, seminar dilanjutkan pemaparan oleh narasumber pertama dari Pa Imam Hindarto Arkeolog dari BRIN, kemudian disusul oleh Pa Hairiyadi dengan pemaparan beliau yang khas, kemudian ditanggapi oleh Sekda HSU dan Pa Norpikriadi yang membuat suasana diskusi menjadi semakin padat dan berisi. Dalam sesi pertanyaan teman saya Ibu Hatmiati Mas’ud juga melontarkan pertanyaan yang menukik tajam yang kemudian banyak ditanggapi oleh narasumber dan pejabat terkait yang juga berhadir di ruangan seminar tersebut.

Dari seminar tersebut ada point menarik yang saya tangkap yakni terkait Hasil analisis carbon dating yang menunjukkan bahwa sampel kayu ulin berkronologi 708-748 masehi sedangkan sampel arang 242-226 sebelum masehi. Angka-angka penanggalan tersebut kemudian menjadi jauh lebih menarik ketika dikomprasi dengan masa yang diyakini sebagai masa eksisnya Kerajaan Nagara Dipa yakni kisaran abad ke 14 masehi seperti didalam beberapa hikayat dan kronik Banjar. Dalam pembahasan tersebut seperti yang dikatakan oleh Norpikriadi jika diurutkan secara diakronik maka ada masa beberapa ratus tahun terjadi “missing link” terkait sejarah peradaban disekitar candi agung Amuntai tersebut. Hal tersebut tentunya mendapat jawaban yang variatif dari para narasumber.

Seminar kemudian selesai di tutup dengan closing steatment dari narasumber dan juga pemantik diskusi. Luar biasa, ada banyak dialektika dan ilmu yang didapat dari seminar tersebut. Keluar gedung tersebut rencana penulis dan Ibu Hatmiati ingin melakukan kunjungan ke Candi Agung dan menikmati kuliner setempat namun sayang beribu sayang, ada urusan administrasi yang harus penulis selesaikan di Kandangan membuat penulis harus segera “balik kanan” ke Kab. HSS, rencana rekreasi di “Negara Dipa” alias Amuntai pun pupus.

Dalam perjalanan pulang, penulis sangat menikmati suasana Kab. HSU yang beribukota di Amuntai ini, kota tua yang terletak diantara pertemuan Sungai Tabalong dan Sungai Balangan atau yang dulu bernama Nagara Dipa atau Kahuripan, kota yang di kelilingi perairan, rawa-rawa dan sungai ini mengingatkan saya kepada wilayah yang terkenal dengan sebutan “Nagara” yang ada di Kab.HSS yaitu sebuah kawasan yang terdiri dari 3 kecamatan yakni Kecamatan Daha Utara, Kecamatan Barat dan Kecamatan Daha Selatan. Secara historis kawasan “Nagara” adalah pusat kota Kerajaan Nagara Daha yakni kerajaan yang didirikan oleh raja pertamanya Maharaja Sari Kaburangan sebagai penerus dari kerajaan Nagara Dipa yang ada di Amuntai (Kab. HSU), dari sudut pandang geografis wilayah Daha Utara berbatasan langsung dengan wilayah paling selatan dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, ditilik dari segi etnik orang Nagara dan orang Amuntai sama-sama dari sub-etnik Banjar Batang Banyu (*).

Categorized in: