Oleh : Rendra (TACB Kab. HSS)
Masyarakat Banjar umumnya merupakan gabungan dari etnik Banjar Batang Banyu, Banjar Pahuluan, dan Banjar Kuala, dengan segala keunikan yang mengagumkan salah satu ciri khas yang ada pada masyarakat Banjar adalah kebudayaan sungai. Kebudayaan Sungai terbentuk dari masa lampau saat masyarakat Banjar ataupun pra Banjar masih menggunakan sungai sebagai urat nadi segala keperluan sehari-hari.
Masyarakat Banjar adalah hasil amalgamasi dari berbagai etnik tempatan yang mengalami pencampuran dengan berbagai etnik/suku bangsa lain dan hasil dari proses difusi kebudayaan yang terjadi pada daerah-daerah sekitar muara sungai yang pada masa lalu sering kali menjadi bandar perdangangan dan pusat peradaban sejak zaman nenek moyang orang Banjar.
Namun yang unik dari kebudayaan mereka adalah hubungan yang erat antara sungai dan kehidupan sehari-hari. Sungai bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga menjadi cermin dari kepercayaan dan mitologi masyarakat Banjar. Dalam tradisi mereka, sungai tidak hanya menjadi jalur transportasi utama, halaman rumah dan terkadang sumber mata pencaharian, tetapi sungai juga menjadi tempat yang “diyakini” oleh masyarakat Banjar dihuni oleh makhluk mitos, seperti Naga, Tambun, Buaya Panjadian, dan lainnya.
Kebudayaan Sungai pada masyarakat Banjar tidak hanya menggambarkan tentang hubungan spesial manusia dengan alam, tetapi juga memperlihatkan keterkaitan yang dalam dengan dunia mistis dan spiritual. Naga, sebagai salah satu makhluk mitos juga diyakini mendiami sungai-sungai, dihormati dan diyakini memiliki pengaruh besar. Kehadiran naga dalam cerita dan kepercayaan mereka menjadi bukti nyata betapa pentingnya sungai dalam identitas dan keyakinan spiritual mereka orang Banjar pada masa lalu.
Dalam mitologi Banjar, naga tidak hanya dianggap sebagai makhluk mistis yang menghuni sungai, tetapi juga sebagai simbol kekuatan/kekuasaan alam bawah (air). Salah satu dari beberapa penggambaran naga secara umum dalam masyaarakat Banjar adalah salah satunya dengan wajah seperti gajah (terkadang memiliki belalai), yang sering disebut sebagai Gajah Mina atau “Makara”, hal ini membuktikan adanya pengaruh kepercayaan hindu dalam tradisi sungai dalam memori kolektif masyarakat Banjar.
Gajah Mina atau yang dalam kepercayaan hinduisme disebut Makara. Yakni perwujudan dari mahluk mitologis yang menjadi tunggangan Dewa Varuna (Baruna) sang penguasa perairan dan samudera. Terlebih amat kuat kaitannya dimana dalam buku “indian mtyh and legend” pulau Kalimantan di namai dengan Varunadwipa yang merupakan pusat kekuasaan dari Dewa Varuna beserta anak-anaknya.
Hal yang menarik ketika coba kita perhatikan lagi. Umumnya penggambaran Dewa Baruna adalah seorang lelaki yang menunggani Makara yang berkaki empat mirip perwujudan seekor buaya. Dalam adat istiadat masyarakat Banjar sangat populer orang-orang yang di yakini memelihara buaya (setengah gaib). Tradisi “maumpani buhaya haraguan” (memberi makan buaya gaib) ini sdh ratusan tahun berlangsung dilaksanakan. Umumnya dengan nasi keta, telur dan pisang yang ditaruh dalam wadah yang dibuat dari daun pisang. Leluhur mereka diyakini memiliki semacam peliharaan berwujud buaya yang setia menemani bahkan membantu mendorong jukung/sampan maupun perahu dagang, tradisi ini berasal dari daerah Kalua suatu daerah di Tabalong yang berbatasan dengan daerah Amuntai (Hulu Sungai Utara) yang mana pada masa lalu di daerah mereka mayoritas di huni oleh para pedagang, saudagar-saudagar yang pada zaman dahulu kala menumpukan akses perdagangan mereka pada jalur perairan.
Simbol legitimasi kekuasaan terhadap kawasan perairan dan sungai tercermin dari narasi sebuah hikayat yang menjadi acuan asal muasal para penguasa Banjar. Keberadaan Putri Junjung Buih sebagai leluhur para penguasa kerajaan Banjar sangat erat kaitannya dengan simbol penguasaan atas perairan/sungai sebagai sarana utama penunjang kehidupan masyarakat Banjar tempo dulu.
Dalam Hikayat Banjar (historiografi tradisional) Putri Junjung Buih disebutkan merupakan leluhur para penguasa Kerajaan Negara Dipa, Daha dan Banjar yang dalam legendanya merupakan manifestasi atau perwujudan dari JATA (mitologi dayak) yaitu Dewi Penguasa alam bawah (air) yang juga tuan atas segala kekuatan alam bawah (air) seperti para naga ataupun tambun, di tambah lagi dalam unsur legitimasinya penggambaran Junjung Buih dikaitkan dan dianggap sebagai anak secara spiritual dari Nabi Khidir dan Ratu Gumilang Kaca (penguasa kerajaan bawah laut). Pola ini tak ubahnya seperti penggambaran Dewa Baruna dan Makara dalam mitologi hindu.
Pada gilirannya legenda tersebut tidak hanya menggambarkan asal-usul pemerintahan, tetapi juga merujuk pada konsep magis-religius yang memperkuat legitimasi sang penguasa beserta keturunannya terhadap kebudayaan sungai yang dianut oleh masyarakatnya. Unsur naga sangat mendominasi, dari ukiran jamang pada rumah Banjar yang merupakan stilirisasi bentuk kepala naga dalam bentuk tumbuhan sulur, ornamen pada kepala jukung/perahu, ornamen hias pada pengantin hingga pada ritus-ritus lain yang erat kaitannya dengan unsur alam bawah (air) yang mendominasi pada adat-istiadat dalam kebudayaan Banjar di Kalimamtan Selatan (*).
Note * “Historiografi tradisional” umumnya bisa berbentuk babat, hikayat, dan lainnnya dan tak jarang merupakan sebuah perangkat legitimasi kekuasaan para raja dahulu kala untuk mencitrakan dirinya dan wangsanya. Umumnya memiliki tingkat subjektifitas yang kuat dan cenderung religio-magis dimana penggabungkan unsur supranatural dan realitas banyak di temukan sehingga sulit untuk pembaca dalam mencari fakta (lihat lagi Kuntowijoyo).