Di masa lalu yang kini sudah terasa sangat begitu jauh, bocah-bocah di Hulu Sungai menjalani petualangan menarik yang telah menjadi legenda di kalangan mereka, yakni berburu “naga tanah”, mahluk ajaib yang mendiami lubang-lubang misterius pada tanah yang lembab.
Pada masanya, di kawasan hulu sungai (kalsel) seperti halnya para anak 90-an dan 80-an diberbagai belahan bumi lainnya. Keseharian mereka menghabiskan waktu tanpa gadget, berpetualang dan bermain dengan alam dan merasakan masa transisi antara zaman analog ke zaman digital, dimana teknologi digital masih berimbang dengan tradisi kelokalan. Banyak yang di lakukan untuk mencoba hal baru, menatap matahari yang mulai melengserkan diri untuk sore yang indah di medan pertualangan mereka, disini kita akan mengupas masa lalu sekaligus menggali nostalgia dari era dimana keajaiban masih bisa ditemukan di “halaman belakang” rumah.
Hari menunjukan pukul 03.00 para bocah keluar pada rumahnya dengan keadaan kenyang. Bersiap melakukan segala pertualangan dan bersinergi dengan apa yang diberikan alam kepada mereka.
Para bocah berkumpul di tempat yang lapang, penuh rumput. Kemudian diantara mereka ada bocah yang melipat-lipat kertas dengan seni origami, membentuk kertas menjadi wadah kecil yang imut. Ada juga yang mengambil cangkir plastik bekas minuman instan yang telah dibuang.
Pertualangan di mulai
Mereka berpencar, seperti ada yang sedang mereka cari pada lapangan rumput itu. Apakah itu ?
Masing-masing dari mereka kemudian mencabut beberapa rumput yang terlihat memanjang sambil berteriak “Ini Kumpainya….”. (Kumpai adalah bahasa Banjar intuk menyebut rumput) Mereka kemudian menaruh rumput-rumput yang mereka cabut itu pada tangan kirinya sekitar 3 – 4 bilah. Mengapa melakukan hal tersebut ?
Dragon Haunters
Para bocah yang sudah memiliki beberapa bilah batang “kumpai berdaun dua” yaitu sejenis rumput tinggi yang memiliki 2 cabang pada ujung atasnya. Mereka kemudian memasuki hutan rindang yang ada di belakang rumah salah satu dari bocah-bocah itu. Hutan yang lembab, tidak ada belukar, hanya saja di penuhi pepohonan yang rindang dan tidak seberapa tinggi.
Terlihatlah lubang-lubang kecil misterius yang bertebaran dibawah-bawah pohon tersebut. Salah satu anak menunjuk, ini lubang ku !. Seketika ia memasukan bilahan “kumpai” tadi ke dalam beberapa lobang yang ada disana, sontak perbuatannya itu diikuti oleh beberapa anak lainnya.
Selang beberapa saat kumpai ajaib bergerak-gerak namun dengan sigap para “bocah” menarik dengan gesit kumpai-kumpai yang bergerak. Lalu mumculah seekor naga dengan kepala yang menakutkan. “Dapaaaaaat,” kata seorang anak. Teriakan yang sama disusul bocah yang lainnya. Mereka berhasil “memancing” naga tanah yang berpilan ganas namun dengan ukuran “mini” keluar dari lobang-lobang persembunyiannya. Mereka berlomba mendapatkannya. Naga-naga mini tadi mereka taruh dalam wadah kecil yang sudah dibuat dari kertas bekas yang dilipat dengan seni origami dan cangkir plastik bekas yang sudah mereka potong-potong.
Bagaimana mereka bisa melakukan hal itu ?ternyata mudah saja, kumpai bercabang dua itu ternyata adalah alat pancing untuk sang Naga Tanah, seekor naga tanah memiliki capit maka dengan capit itu Naga Tanah akan mencapit-campit ujung kumpai, sehingga kumpai terlihat bergerak-gerak dari luar lubang. Kumpai segera dengan capat diangkat agar saat Naga Tanah mencapit ia masih tersangkut di ujung kumpai. Ada banyak kegagalan dalam memancing Naga Tanah, namun sang bocah pemburu dengan jam terbang tinggi mampu berburu sang Naga Tanah dengan sangat lihai.
Permainan mencari dan memancing Naga Tanah (ulat tanah yang mirip mitologi naga Negeri China) sudah jarang di lakukan oleh anak-anak era sekarang yang cenderung lebih memfokuskan pada permainan di dalam gadgetnya, terlebih di dukung oleh kondisi alam yang sudah banyak berubah, kegiatan-kegiatan simple seperti berburu “Naga Tanah” ini pada dasarnya juga mampu melatih intuisi dan kepekaan pada anak, terutama dalam memprediksi kemungkinan lewat tanda dan gejala alamiah (*).