Sejak memasuki era reformasi merupakan angin segar bagi berbagai golongan untuk berdemokrasi dengan sehat. Nuansa ini juga tidak luput berperan dan turut memberikan  dorongan bagi masyarakat Islam untuk mengembil peran dalam dunia politik. Dimana pada masa Orde Baru keinginan berpolitik seolah terbelenggu dan tidak mendapat kebebasan. Fatwa, A.M. dalam Abdul Mu’nim menyatakan : “alam reformasi telah melahirkan beberapa partai politik, baik yang berlebel agama maupun non-agama” (Abdul Mu’nim D.Z. : 2000, hal-120).

Di Kalimantan Selatan, merupakan daerah yang kental akan dimensi keIslaman di dalam sosio-kultur masyarakatnya. Karakter ini sudah terbentuk selama beratus-ratus tahun lamanya. Sejak zaman kerajaan Banjar yakni kerajaan bercorak Islam yang cukup memberikan andil besar dalam membantu terbentuknya pondasi pemikiran dan sikap orang Banjar terhadap Islam itu sendiri.

Semenjak zaman Kesultanan Banjar sampai dengan era kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat Kalimantan Selatan tidak berhenti mencetak para ulama yang berpengaruh, ini tentu tidak lepas dari iklim pemikiran islam yang begitu kuat dan mengakar pada masyaraktnya.

Para ulama dipandang merupakan sosok panutan, figure moral dan orang yang memiliki wawasan keagamaan yang luas. Posisi ulama dalam masyarakat Kalimantan Selatan juga begitu istimewa. Dalam sejarah Kalimantan Selatan dapat ditemukan beberapa ulama yang berperan sebagai  motor pergerakan maupun pemimpin perlawan terhadap kolonialsme Belanda. Contohnya seperti yang terjadi ditahun 1861-1865 sebuah gerakan perlawanan yang kental akan pengaruh Islam yakni gerakan baratib-ba’amal yang bergerak cepat di awali dari daerah Amuntai, Balangan dan Tabalong (Idwar Saleh : 1982/1983, hlm 17-18).

Gerakan tersebut dipimpin oleh seorang tokoh ulama setempat yaitu Penghulu Rasyid dan Haji Badar. Dari jejak historis ini dapat kita lihat seberapa berpengaruh golongan ulama terhadap masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya.

Bercermin dari masa lalu tersebut, di Kalimantan Selatan. Pada masa dimana kebebasan demokrasi serta masifnya keinginan masyarakat untuk mengambil peran-serta dan posisi penting dalam dunia politik, sudah barang tentu akan bertemu dengan pengaruh besar para ulama yakni dimana sesuatu yang keluar dari mulut sang ulama bisa dipastikan masih mempunyai “bobot” khusus pada sebagian masyarakat Banjar yang masih kental akan tradisi Islam dan penghormatan tinggi terhadap para ulama.

Daerah Kalimantan Selatan juga tidak pernah sunyi dari kiprah para ulama yang terjun langsung kedalam lingkaran politik praktis. Bagi masyarakat, kehadiran sosok ulama dalam panggung politik sangat diharapkan dapat mempengaruhi  dunia politik itu sendiri agar menjadi lebih bermoral, lebih mementingkan kepentingan rakyat dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusian seperti yang diajarkan dalam Islam.

Memang  tidak ada alasan kuat agar para ulama meninggalkan politik praktis, sebab berpolitik juga merupakan bagian dari ajaran agama Islam yakni apa yang disebut “Siyasah“. Mengutip pada Jurnal Ujang Mahadi :  Komunikasi Politik Kiai pada Kampanye dan Pemilu yang menyebutkan ulama adalah simbol daripada etika dan moralitas politik, keterlibatan ulama dalam kancah politik harus bisa memberikan sumbangan besar bagi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral.

Disamping ada beberapa dari kalangan ulama yang terjun langsung kedalam lingkaran politik praktis, itu sangat wajar dan dapat kita maklumi serta fahami urgensinya.

Namun ironisnya disamping itu, juga ada beberapa ulama yang berada “diluar” dari lingkaran politik praktis (bukan kontestan politik langsung) namun tidak jarang mereka malah “eksplisit” menyuarakan dukungan dan ajakan kepada jamaah dan masyarakat umum untuk menjatuhkan pilihannya kepada salah satu calon kepala daerah secara terangan-terangan bahkan dalam forum “majelis ilmu”.

Padahal peran ulama yang berada diluar lingkaran politik praktis ini sangat diharapkan perannya menjadi sosok yang arif dan objektif serta menjadi inspirasi moral, penengah bagi masyarakat yang sedang dihadapkan pada situasi perbedaan pendapat dan pilihan politik, disaat iklim pemilihan umum (pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden) yang sedang berlangsung.

Netralitas yang tercelakai dari golongan ulama yang diharapkan menjadi sosok penengah didalam situasi yang keruh, justru terlihat membuat serba timpang dan bertabrakan satu dengan yang lainnya.

Ketika ada sebagian Ulama kharismatik diluar lingkaran politik yang seharusnya menjadi penengah agar ummat tidak terpecah belah justru “speak-up” menyatakan dukungan dan ajakannya secara terang-terangan dengan menggunakan kemasan berbau religius. Bahkan tidak jarang dalam beberapa kasus ajakan itu diperparah lagi dengan alasan hubungan “kekerabatanya”  pada salah satu calon kepala daerah, misalnya.

Sikap ulama yang seperti ini justru menjadi bahan “jualan” politik yang sangat menguntukan bagi para politisi. Legitimasi magis-religius didapat dari seorang ulama kharismatik yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi seorang Influencer atau  juru kampanye dari sang politisi.

Lebih mengherankan lagi jika alasan yang dijadikan motif dari ajakan politis seorang ulama tersebut dengan menggambarkan standart sebuah kepemimpinan disandarkan pada hubungan “kekeluargaan” dan mengenyampingkan sisi objektifitas. Ini juga justru penghianatan pada prinsip egalitarianisme yang dibawa oleh Islam itu sendiri.

Di Kalimantan Selatan hal seperti ini kerap saja terjadi, apalagi didukung dengan dimensi dan sosio-kultur masyarakat Banjar yang cenderung religius dan menaruh ulama sebagai sosok panutan. Mayoritas masyarakat Banjar sangat patuh dengan papadah atau nasehat serta tausyiah mereka para ulama.

Hal yang justru sebenarnya sangat efektif jika digunakan sebagai potensi penyampai misi untuk penyadaran umat. Misalnya untuk ajakan tentang menjaga kelestarian lingkungan dan larangan perusakan alam yang gencar disuarakan berbagai LSM saat ini. karna saat ini isu kelestarian lingkungan dan keruskan alam merupakan  masalah besar di depan mata bagi masyarakat Kalimantan Selatan.

Maka dari itu efektifitas dari ajakan mereka para ulama kharismatik mungkin bisa jadi lebih kuat dibanding dari kalangan masyarakat biasa dalam menyuarakan hal demikian.

Sikap “kritis”dan objektif kita terhadap ajakan ulama dalam politik juga harus tetap ada. Ini merupakan counter kita terhadap pemanfaatan sebagian oknum politisi tertentu terhadap “suara” para ulama. Jangan sampai masyarakt kita menjadi mudah untuk “dimanfaatkan” dan “dikondisikan” oleh sebuah agenda strategi politik karna kurangnya sisi kritis kita terhadap keadaan yang sekarang.

Daftar Pustaka :

1. Abdul Mu’nim D.Z. (ed), Islam di Tengah Arus Transisi (Jakarta: Kompas, 2000), hlm 120.

2. Idwar Saleh, Lukisan Perang Banjar 1859-1865  (Museum Negri Lambung Mangkurat, Kalsel 1982/1983), hlm 17-18.