Oleh : Rendra

Hulu Sungai Selatan merupakan daerah yang memiliki kekayaan sejarah yang melimpah. Kawasan Hulu Sungai Selatan juga memiliki 3 unsur geografis yang terdiri dari Pegunungan, dataran rendah, rawa-rawa sungai besar.

Pernah mejadi pusat sebuah Kerajaan yakni pada masa Kerajaan Nagara Daha yang berada disekitar wilayah Kecamatan Daha Utara, Daha Barat dan Daha Selatan saat ini.

Kawasan daerah sisi tengah dan timur di Hulu Sungai Selatan yang membentang dari pusat kota Kandangan hingga wilayah pegunungan Meratus juga menjadi salah satu wilayah Katumanggungan pada masa Kesultanan Banjar dan juga merupakan salah satu lokasi utama dalam tragedi perang Banjar yang telah memberikan perlawanan amat sengit terhadap pasukan kolonial Belanda.

Belum lagi daerah ini pernah menjadi  ibukota dari seluruh kawasan Hulu Sungai yang sekaligus menjadi sentral perjuangan para gerilyawan pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan.

Dari semua hal tersebut tidak heran jika akan ada banyak tinggalan kesejarahan di wilayah Kabupaten ini. Contohnya di kawasan Amandit Selatan yakni Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Simpur dan Kecamatan Kalumpang adalah kawasan yang menarik jika dilihat letak posisi geografisnya.

Terutama kecamatan Kalumpang dimana kawasan ini sangat berdekatan langsung dengan kawasan Margasari (Kab.Tapin) yang terkenal akan tinggalan sejarah dan kebudayaan kunonya. Kawasan Margasari sangat identik dengan situs Candi Laras dan Situs Pamatang Bata, yakni situs yang terkait tentang cikal-bakal atau nenek moyang etnik Banjar di Kalimantan Selatan.

Sebuah patung Budha Dipangkara dan fragmen kuno ditemukan saat ekskavasi tim arkeolgi di situs Candi laras, fragmen kuno tersebut memilki sebuah ingkripsi beraksara palawa yang berbunyi “Siddha” – yang diduga kuat merupakan tinggalan dari diaspora elite Kerajaan Sriwijaya di abad ke-7 masehi yang erat hubunganya dengan prasasti Kedukan Bukit yang bertuliskan “jaya siddha yatra” (“perjalanan ziarah yang mendapat berkat”).

Ekskavasi situs Candi Laras. Sumber : Direktorat Perlindungan Kebudayaaan (Kebudayaan.Kemdikbud.go.id)

Para sejarawan sepakat kebudayaan melayu tua di Kalimantan Selatan diwarisi dari imigran Sriwijaya yang bercampur dengan penduduk lokal yang akhirnya menghasilkan “Banjar Archais” (Nenek moyang etnik Banjar pahuluan). Mereka diduga kuat berhasil mendirikan kerajaan bernama Tanjung Puri yang bersamaan dengan adanya kerajaan suku dari klan Dayak Maanyan yang bernama Nan Sarunai.

Wilayah kecamatan Kalumpang seperti yang kita ketahui sebelumnya memiliki letak geografis yang unik dan menarik dengan luasan wilayah keseluruhan ± 135,07 Km², dimana kawasan tersebut berbatasan langsung dengan wilayah Margasari (Tapin) disebelah Barat dan Selatan, sedangkan pada bagian utara juga berbatasan langsung dengan kecamatan Daha Selatan, kenapa posisi ini menarik ?

Tentu saja hal ini menarik, wilayah Kecamatan Kalumpang berada tepat diantara 2 wilayah yang memiliki jejak histori yang terkenal sebagai pusat peradaban kuno yakni Candi Laras dan Kerajaan Nagara Daha. Hal ini juga memungkinkan beberapa tempat/desa di wilayah kecamatan Kalumpang memiliki potensi tinggalan kesejarahan yang masih terpendam.

Contohnya pada tahun 1980 telah gempar di desa Balanti kecamatan Kalumpang telah ditemukan banyak benda-benda kuno peninggalan sejarah di lahan seluas 500 x 1000 m² yang mana areal tersebut dijadikan masyarakat tempat mendulang sejak bulan Desember 1979. Lokasi tersebut berupa tanah rawa yang terdapat di bekas sungai mati. Barang-barang tersebut berupa potongan emas, perhiasan emas, biji-biji marjan, alat penangkapan ikan dan perlengkapan perahu. Dapat diduga bahwa daerah tersebut merupakan suatu “bekas pemukiman kuno” yang sudah tidak berpenghuni lagi (Bpost, Mei 1980).

(Bpost, 9 April 1980) Tidak kurang dari 200 orang penduduk yang sebagian besar dari Daha Selatan dan Daha Utara mengadakan pendulangan intan di desa Balanti. Penggalian tersebut berlokasi di beberapa handil (sengaja tidak disebutkan) yang berjarak 100 Meter dari sungai Amandit baru. Telah diperoleh beberapa emas kepingan 22 karat. potongan potongan bekas rantai/kalung, giwang, cincin, dan perhiasan berupa gelang model belah rotan seberat 66 gr. dan 15 gr. potongan-potongan jamang (mahkota kepala wanita)yang berupa emas murni kemudi perahu pinisi dari kayu jati, pengayuh dayung, asak (tutujah), cobek, halu ulin, matapen, gasing,1 mangkok besar, manik-manik, lesung ulin, cupu tanah, mata tombak ulin, pemukul gemelan, dan lainnya.

Selain diduga kuat sebagai sebuah pemukiman kuno, di desa Balanti juga diduga memiliki sebuah pelabuhan atau bandar perdagangan yang berada diantara Negara Daha – Margasari. Ini diperkuat dengan ditemukannya beberapa perangkat kapal Pinisi yang terkubur di area rawa-rawa yang menjadi lokasi penemuan benda-benda sejarah lainnya.

Kemudian, pada tahun 2011 Balai Arkeologi Banjarmasin (wil. Kerja se-Kalimantan) melakukan pengamatan pada sisa pemukiman kuno di Desa Balanti, dari pengamatan dan survei yang dilakukan di kecamatan Kalumpang, sebaran sisa hunian kuno diwilayah tersebut cukup luas (Sunarningsih, Majalah Arkeologi Naditiria Widya).

Penemuan artefak emas (Buletin Arkeologi Naditira Widya – Vol 7 No. 2 Oktober 2013).

Disamping itu ada beberapa hal yang menarik dan selama ini luput dari sorotan penelitian. Yakni terdapat penduduk hasil migrasinya orang-orang Palembang ke daerah sekitar Kalumpang, Balimau hingga Margasari dan sekitarnya, namun tentunya hal ini terjadi pada masa yang relatif jauh lebih muda ketimbang situs Candi Laras.

Menurut salah satu Informan, yang secara kebetulan juga pemilik beberapa lahan yang diduga bekas pemukiman kuno di daerah kecamatan Kalumpang, keluarga besarnya adalah campuran dari imigran Palembang  yakni para pengikut Sultan Ahmad Najamudin Prabu Anom yang di asingkan oleh Belanda tahun 1823 yang kemudian mengawini warga lokal. Informan lain menyatakan tidak jauh berbeda yakni mereka menyebutkan leluhur mereka berasal dari Palembang yang kawin dengan penduduk desa Balimau Kec. Kalumpang.

Secara tidak langsung kabar tersebut menyiratkan informasi bahwa ada kemungkinan besar daerah tersebut tidak jauh dari pelabuhan untuk perniagaan yang memungkinkan orang-orang dari sumatera mengakses tempat itu untuk berniaga.

Dari hasil temuan-temuan tersebut kita bisa berhipotesis bahwa ratusan tahun yang lalu wilayah kecamatan Kalumpang memiliki kemungkinan yang besar sebagai wilayah yang justru tidak sunyi dari peradaban dan pusat perekonomian pada masa lampau. Bahkan sebaliknya bisa jadi kawasan kalumpang merupakan “trading center” untuk perdagangan komoditi tertentu yang dibawa dari kawasan hulu.

Penting untuk mengingat lagi pola kebudayaan sungai yang dianut oleh mayoritas masyarakat Kalimantan Selatan tempo dulu. Hal tersebut amat penting menjadi landasan teori serta kerangka utama dalam melihat dan melakukan kajian yang lebih komprehensif terkait temuan-temuan benda bermuatan sejarah yang diduga berasal dari pemukiman kuno dan bandar perdagangan di sekitar wilayah kecamatan Kalumpang.

Kajian yang lebih mendalam terkait penemuan tinggalan benda bersejarah tersebut sangat amat penting dilakukan untuk menjadi wawasan dalam pendidikan sejarah dan etnografi.

Sebaran temuan arkeologis disepanjang Barito – Sungai Bahan (Sei. Nagara), arah panah dan lingkaran merupakan situs Balanti (Buletin Arkeologi Naditiria Widya ‘ Vol 6 No.2 Oktober 2012)

Wilayah kecamatan kalumpang sendiri didominasi oleh daerah rawa-rawa. Ada banyak bekas sungai mati baik itu sungai buatan pada masa pemerintahan kolonial ataupun sungai kuno yang semula menghubungkan beberapa anak sungai Bahan disekitaran Margasari – Kalumpang – Nagara.

Dari rangkaian data-data yang di paparkan disini mungkin hanya sebagian kecil dari “misteri” sebaran “harta karun” sejarah di Kabupaten Hulu Sungai Selatan

Categorized in: