Pisang adalah tanaman yang sangat familiar di masyarakat dunia, pisang adalah salah satu tanaman yang banyak dibudidayakan karena tanaman ini tidak memerlukan perawatan yang rumit sebagaimana tumbuhan lain. Pisang dapat tumbuh didataran tinggi maupun dataran rendah, dapat beradabtasi dengan beberapa jenis musim, apalagi di Indonesia yang memiliki iklim tropis, tentunya sangat cocok dengan berbagai tanaman.
Di Indonesia sendiri, pisang memiliki banyak varietas unggulan yang menjadikannya sebagai makanan favorit masyarkat. Selain karena memiliki cita rasa yang berbeda-beda antara satu varietas dengan varietas lainnya, juga bentuk yang unik dari buahnya. Pisang mengandung berbagai vitamin yang baik untuk tubuh manusia.
Selain terkenal akan hasil buahnya, pisang memiliki kekayaan manfaat yang tak terhingga, sehingga banyak yang berpendapat bahwa tanaman ini adalah multiguna. Mengapa demikian, kerena seluruh bagian dari tanaman ini memiliki manfaat, mulai dari bonggol umbi akarnya, kulit batangnya, batang dalamnya, daun, pelepah, buah, hingga tongkolnya dapat dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sering kita lihat di media sosial maupun dimedia cetak tentang pemanfaatan tumbuhan ini, contohnya bonggol pisang di daerah jawa dijadikan camilan keripik, meskipun dengan melewati beberapa tahap pengolahan, adalagi pengolah kulit serat batang pisang menjadi kain, yang selanjutnya dijadikan kerajinan pakaian.
Di masyarakat Banjar sendiri batang umbut pisang dijadikan kuliner sayuran, bahkan untuk pemanfaatan daun pisang sekarang tidak hanya di Indonesia namun merambah hingga mancanegara seperti Arab Saudi.
Namun ada beberapa fakta hingga mitos yang familiar di masyarakat Banjar Pahuluan tentang pemanfaatan batang pisang, apa saja mari kita bahas :
Batang pohon pisang dijadikan untuk alas memandikan jenazah
Kemungkinan hal ini tidak hanya diBanjar Pahuluan, namun mungkin juga didaerah lainnya di Indonesia, pemanfaatan batang pohon pisang dijadikan untuk alat alas dalam memandikan jenazah. Hal ini lumrah akan kita temui ketika ada seseorang yang meninggal dunia.
Meskipun dalam peralatan pemandian jenazah yang ada di masjid maupun langgar sudah ada tempat khusus, namun kebiasaan masyarakat banjar hampir selalu menggunakan alas batang pohon pisang, yang akan dipotong menyesuaikan dengan alat pemandian yang sudah tersedia. Fungsinya antara lain untuk menahan bagian tubuh mayyit, agar memudahkan petugas untuk memandikannya.
Terkait kapan dan bagaimana asal-usul kebiasaan penggunaan batang pisang untuk menunjang peralatan pemandian jenazah di Banjar Pahuluan belum diketahui.
Beberapa kepercayaan setelah batang pohon pisang digunakan untuk memandikan jenazah
Ada beberapa anggapan dan kepercayan yang sering kita dengar dimasyarakat Banjar Pahuluan, yaitu mitos yang mengatakan bahwa ketika selesai batang pisang digunakan untuk memandikan jenazah kemudian diletakkan ditanah, kalau biasanya batang pohon akan secara alami mengalami pembusukan setelah beberapa hari.
Namun jika batang pohon tersebut malah menjulur tumbuh seolah akan hidup kembali, ada anggapan sebagai pertanda bahwa akan ada Kembali disekitar tempat tersebut meninggal dunia. Entah sejak kapan anggapan ini ada, namun ini adalah mitologi unik dari masyarakat Banjar Pahuluan.
Penggunaan batang pohon pisang untuk menyimpan rambut wanita yang rontok
Kebiasaan lainnya dari penggunaan batang pisang yang masih tumbuh adalah sebagai tempat menyimpan rambut wanita yang rontok. Hal ini sudah biasa dilakukan masyarakat Banjar pahuluan sejak dahulu, selazimnya rambut setiap harinya akan mengalami kerontokan dalam kondisi normalnya, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak.
Kebiasaan tersebut dilakukan dengan meletakkan bagian rambut yang rontok, kemudian dikumpulkan dengan membentuk bulatan (galung), kemudian disisipkan kebagian batang pohon pisang. Adapun kepercayaan dimasyarakat salah satunya adalah supaya pemilik rambut yang meletakkan rambutnya dibatang pohon pisang akan senantiasa merasa sejuk rambutnya, dan rambut akan menjadi segar kuat, serta tidak gampang rontok.
Percaya atau tidak tardisi ini sering dilakukan oleh masyarakat Banjar pahuluan sejak dahulu.