Oleh : Rendra Tenaga Ahli Cagar Budaya Kab. Hulu Sungai Selatan.
Daerah Hulu Sungai Selatan merupakan suatu kawasan yang berada tepat di tengah-tengah jantung Kalimantan Selatan. Kota yang penuh sejarah, kaya akan kesenian dan nilai-nilai kebudayaan. Selain dikenal sebagai kota perjuangan kawasan ini juga memiliki lanskap bentang alam yang sungguh menakjubkan. Kabupaten Hulu Sungai Selatan merupakan daerah yang sudah melalui sejarah panjang hingga hari ini 73 tahun kawasan itu resmi “kembali” menjadi bagian dari Republik Indonesia sejak tahuh 1950.
Sekitar abad ke-15 Masehi saat peradaban sungai masih menjadi poros utama peradaban di Kalimantan Selatan, kawasan “Nagara” atau yang sekarang menjadi Kec. Daha Utara, Daha Selatan dan Daha Barat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah Ibukota dari kerajaan Nagara Daha yaitu sebuah kerajaan lama pendahulu Kerajaan Banjar yang berpusat di Banjarmasin dan Martapura. Kerajaan Daha memiliki kekuasaan yang luas di pulau Kalimantan, dimana luas kekuasaan tersebut kelak diwariskan kepada penerusnya yaitu Kerajaan Banjar.
Pada masa kerajaan Banjar daerah Kandangaan atau Ibukota dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan saat ini merupakan sebuah Lalawangan (setingkat distrik) yakni bernama “Lalawangan Batang Hamandit” yang dipimpin oleh seorang Tumenggung. Pada tahun 1859-1860 daerah ini juga terseret pada kecamuk Perang Banjar yang dahsyat, setidaknya beberapa perlawan sengit dan heroik terjadi dikawasan ini seperti Pertempuran Benteng Amawang, Pertempuran Gunung Madang yang berturut-turut memenangkan pertempuran, serta peperangan lainnya yang juga terjadi di kawasan Lalawangan Batang Hamandit.
Pasca tahun 1860 pemerintah kolonial Belanda resmi secara sepihak memindah pusat kekuasaan yang semula ada di hulu Sungai Amandit ke daerah hilir Amandit tepatnya pada wilayah Amandit Selatan yang telah jatuh dikuasain Belandan pada pertempuran benteng Amawang, kawasan bernama Simpur kemudian dipilih untuk menjadi pusat pemerintahan sementara. Daerah Lalawangan Batang Hamandit kemudian mereka tetapkan menjadi sebuah Distrik (Distrik Amandit) dengan mengangkat seorang Districthoofd (kepala Distrik)bernama Kiai Ranamenggala. Dalam masa pemerintahan Ranamenggala beberapa kali para pejuang menyerang pusat kekuasaan tersebut, salah satunya serangan pasukan Lurah Mira ke pusat kekuasaan kepala Distrik di Simpur, dikarenakan hal-hal demikian menyebabkan militer Belanda memperkuat Bentengnya yang berada di Amawang (sekarang Kompi TNI).
Pada paruh ke-2 abad 19 yaitu pada tahun 1899 pecahlah perlawanan “Hamuk Hantarukung” di desa Hantarukung Kec. Simpur. Perang ini dilatari berbagai motif terutama konflik agraria, kemuakan terhadap pemerintahan kolonial dan juga datangnya seorang pemuda bernama Bukhari yang mendapat kepercayaan Sultan Muhammad Seman (anak Pangeran Antasari) untuk memimpin perlawanan. Perang ini cukup berdarah, menewaskan seorang kontroler Belanda dan beberapa pengikut setianya. Namun ironis pemerintahan Belanda mengarahkan tokoh pribumi Amandit bernama Kiai Djamdjam dengan kekuatan 2 regu pasukan bersenjata untuk membasmi perlawanan rakyat Hantarukung. Banyak korban dipihak masyarakat, pembunuhan dan penyiksaan keji. Sebagian kecil dari masyarakat Simpur dan sekitarnya kemudian berdiaspora kewilayah baru (di wilayah Kab.Tapin) untuk mencari penghidupan baru dan menghindari perang saudara. Hamuk Hantarukung dianggap adalah salah satu konflik berdarah yang juga menutup episode perang Banjar fase ke-2 di Hulu Sungai.
Memasuki abad 20 (1900-an) secara administratif daerah ini mengalami perubahan besar-besaran. Tepat pada tahun 1913 berdasarkan Indische Staatsblad Gubernur Jendral Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia, maka ditetapkan sebuah wilayah bernama Afdeling Hulu Sungai dengan wilayah yang membentang dari Kab. Tapin sekarang sampai ke Kab.Tabalong yang meliputi 6 Kabupaten yang ada dikawasan Hulu Sungai masa kini. Distrik Amandit kemudian resmi ditetapkan sebagai ibukota dari kawasan Afdeling Hulu Sungai. Kawasan Afdeling Hulu Sungai mengalami lonjakan perekonomian sekitar tahun 1920 – 1930 dimana pada masa itu banyak komoditi lokal di Hulu Sungai mengalami lonjakan harga dan peningkatan produksi. Seperti Booming Karet yang terjadi pada tahun 1920-an di kawasan Hulu Sungai. Di sela-sela booming karet, di Kandangan juga mengembangkan Klapperculture atau perkebunan kelapa yang kelak menghasilkan komoditi Kopra yang melimpah hingga mempengaruhi kuliner tradisional setempat.
Kawasan Hulu Sungai yang kaya akan sumber daya alam dan hasil perkebunannya kemudian di dukung oleh keluarnya kebijakan politik etis (politik balas budi) yang diberlakukan oleh Ratu Belanda, hal tersebut tentu membuat perubahan yamg amat drastis bagi sebagian besar masyarakat Hulu Sungai – khususnya masyarakat pada District Amandit. Program edukasi / pendidikan yang merupakan program dari politik etis mendorong berkembangnya pendidikan “modern” di daerah itu. Holland inlandsche school (HIS) didirikan di Kandangan (ibukota afdeling hulu sungai di distrik Amandit), kemudian disusul dengan turut menjamurnya Volkschool atau Sekolah Rakyat (SR) yang didirikan di Kandangan – Nagara.
Disisi lain pemuda-pemudi terpelajar juga tidak sedikit yang tergabung dalam organisasi kepemudaan dimana pada gilirannya secara organik melahirkan bibit-bibit nasionalisme Indonesia di Kandangan. Partai Indonesia Raya (Parindra) Cabang Kandangan mendirikan sekolah bernama “Sekolah Medan Antara” yaitu sekolah dasar setara HIS. Selain itu berdiri pula Taman Antara di wilayah Nagara dan Sekolah Rakyat (5 tahun) di Kandangan Kota, desa Karang Jawa dan Gambah (Wajidi: 2015). Organisasi Syarikat Islam dan Musyawaratutthalibin juga masif mendirikan sekolah-sekolah Islam modern di Kandangan. Sekolah Islam tersebut juga mengajarkan muatan-muatan pelajaran umum di dalamnya, seperti Sekolah Islam – Pandai.
Tahun 40-an terjadi lagi perubahan yakni pada masa pendudukan Jepang. Pendudukan Jepang di Kandangan dan di Kalimantan Selatan pada umumnya memang tidak jauh berbeda, walaupun dirasa cukup singkat namun penderitaan rakyat sungguh luar biasa berbanding terbalik dengan masa Hindia-Belanda. Ada banyak perubahan yang dilakukan pemerintah pendudukan Jepang, dari segala lini. Mulai dari merubah nama dan istilah pada struktur birokrasi pemerintah dengan menggunakan istilah Jepang. Di Kandangan pemerintah pendudukan Jepang juga menerbitkan majalah hiburan yang bernama “Purnama Raya” dipimpin oleh Haspan Hadna dan A. Jabar. Melalui majalah ini pemerintah pendudukan jepang menyiarkan propagandanya untuk menipponisasi banua. Tidak hanya sampai disitu diberlakukan wajib militer untuk para pemuda lokal yang dilatih secara ketentaraan untuk menyiapkan perlawanan terhadap sekutu yakni seperti pasukan Seinendan, Konan Hokoku Dan, Boei Teisin Tai, Heiho, dll
Jelang “kemerdekaan Indonesia” dan kekalahan Jepang.
Memasuki tahun 1945 terjadi banyak perubahan yang menentukan, tak terkecuali di Kandangan yang menjadi pusat perpolitikan di kawasan Hulu Sungai. A.A Hamidan tokoh Kalsel yang menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah menyaksikan langsung “Proklamasi Kemerdekaan Indonesia” yang di deklarasikan Soekarno di Jl. Pegangsaan Timur. Namun akibat tekanan dari pemerintah pendudukan Jepang kabar itu tidak sempat di sebar-luaskan kepada masyarakat di Kalimantan Selatan.
Namun tidak berselang lama, para aktivis-aktivis kemerdekaan di Kandangan telah mendengarkan kabar itu melalui sebuah radio gelap milik Kusasi di Kampung Pandai, karena saat itu radio rakyat disegel dan disweping oleh militer japang. Melalui radio tersebut teks proklamasi kemerdekaan dan Pembukaan UUD 45 yang disiarkan berulang-ulang berhasil dicatat dengan lengkap.
Baru setelah itu ada pemberitahuan resmi yang termuat pada harian Borneo Shimbun yang terbit di Kandangan. Dari Kandangan selebaran-selebaran dan pamflet kemerdekaan disebar ke berbagai penjuru Hulu Sungai.
Masa Revolusi Kemerdekaan.
Angkat kakinya militer Jepang dan datangnya tentara NICA kembali ke Kalimantan Selatan khususnya di Kandangan & Nagara (HSS sekarang) merupakan babak baru bagi sejarah kawasan Hulu Sungai Selatan pada masa lalu. Datangnya pasukan sekutu yang diboncegi oleh tentara NICA Belanda membangkitkan api nasionalisme para pemuda dari golongan “republiken” di Kandangan & Nagara, mereka membentuk badan-badan perjuangan seperti GEPERINDO yang memprogandakan seruan perjuangan lewat pamflet-pamflet persuasif yang dipajang secara sembunyi-sembunyi di ruang publik dan tak sedikit dari para pemuda kemudian mendirikan sayap organisasi bersenjata, khususnya di wikayah Kandangan dan Nagara (Kab.HSS sekarang) mulai bermunculan beberapa organisasi kelaskaran bersenjata yg semakin tumbuh subur seperti GERMERI, BPPKI, GPII, Laskar Sayfullah dan PETIR/BPRI (di Nagara).
Dikarenakan banyaknya pemuda-pemudi terdidik di Kandangan, maka juga lahir beberapa Pers Perjuangan seperti majalan/koran Sinar Hulu Sungai, Majalah Republik, Kalimantan Berjuang, Harian Samarata, Majalah Poetri, SULUH, PIALA, MADJILIS, dan Djantung Indonesia. Pers perjuangan di Kandangan inilah yang kelak menjadi pelopor pers perjuangan yang ada di Kalimantan Selatan.
Wahana perjuangan yang demikian dahsyat juga berbanding imbang dengan tekanan yang juga luar biasa dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda kepada masyarakat Hulu Sungai Selatan. Dalam kurun waktu tahun 1946-1949 munculah salah seorang pemuda bangsa terbaik dari Kandangan bernama Hassan Basry kelahiran Padang Batung 17 Juni 1923 silam, ia berhasil menyatukan seluruh Kelaskaran bersenjata yang berada di kawasan Hulu Sungai ke dalam organisasi militer ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan yang dipimpinnya. Alhasil, puncaknya pada tahun 1949 ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan secara De Facto telah menguasai seluruh daerah pinggiran kota dan kawasan pedalaman Hulu Sungai di Kalimantan Selatan dan membuat pemerintahan kolonial Belanda semakin terdesak.
ALRI divisi IV Pertahanan Kalimantan juga berhasil mendeklarasikan berdirinya pemerintahan militer yang dipimpin oleh seorang Gubernur Tentara dan memproklamasikan bahwasanya Kalimantan Selatan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia, peristiwa itu terjadi tepatnya pada tanggal 17 Mei 1949 di Kandangan (Desa Niih, Kec. Loksado). Sikap tersebut juga sebagai respon atas perjanjian Linggarjati dimana hanya pulau Sumatera, Jawa dan Madura yang merupakan kawasan Negara Republik Indonesia.
Apakah setelah itu selesai ? Tentu tidak, pada bulan Agustus 1949 Belanda yang merasa semakin terdesak melakukan serangkaian penyerangan besar-bedaran ke wilayah pertahanan ALRI Divisi IV di desa Karang Jawa di pinggiran kota Kandangan. Akhirnya di bulan Agustus 1949 pecahlah pertempuran yang dinamakan “pertempuran Garis Demarkasi desa Karang Jawa”. Pertempuran tersebut tak pelak membuat penduduk “kota” Kandangan harus mengungsi ke desa-desa di pinggiran kota Kandangan yang merupakan wilayah kekuasaan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan.
Semakin hari Belanda semakin terpojok dan kalah. Akhirnya, atas permintaan residen Belanda di Kalimantan Selatan kepada pemerintah RI di pusat maka terjadilah kesepakatan antara Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dengan Militer Belanda yang ditengahi oleh Delegasi UNCI dari PBB dan Perwakilan Delegasi RI dari Jakarta yang mana pertemuan itu dilangsungkan di Kandangan. Setelah itu diberlakukanlah “casefire” (penghentian tembak menembak) antara pasukan ALRI dan militer Belanda. Hingga Belanda berangsur-angsur menarik seluruh pasukannya dari Kalimantan.
Pada bulan April 1950 barulah daerah Kalimantan Selatan resmi “kembali” menjadi bagian dari wilayah Kesatuan Republik Indonesia dan terbitlah SK Menteri Dalam Negeri RI (pada waktu itu berkedudukan di Jogjakarta) tanggal 29 Juni 1950 no C.17/15/3 ditetapkan pembagian daerah administrasi baru. Afdeling Hulu Sungai menjadi Kabupaten Hulu Sungai yang beribukota di Kandangan.
Bupati Hulu Sungai yang pertama adalah Syarkawi dengan 36 orang anggita DPRDS yang dilantik oleh Gubernur Kalimantan Dr. Murdjani, pada tanggal 2 Desember 1950. Hingga hari ini momentum tersebut dijadikan sebagai “Hari jadi Kabupaten Hulu Sungai Selatan”.
Kabupaten Hulu Sungai kemudian melakuan pemekaran menjadi 6 Kabupaten yakni Kab.Hulu Sungai Utara, Kab.Hulu Sungai Tengah, Kab.Tabalong, Kab.Tapin dan yang terakhir Kab.Balangan dan yang paling tua adalah Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang masih beribukota di Kandangan hingga hari ini.
Selamat 73 tahun milad Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1950 – 2023.