Oleh : Rendra (TACB HSS & staff kurator Museum Rakyat HSS).
“Kandangan” merupakan sebutan populer secara tradisional bagi sebuah kawasan yang dibelah oleh sungai Amandit hingga Danau Bangkau (pada wilayah utara) dan desa Balimau (pada wilayah paling Selatan). Daerah Kandangan secara tradisional umumnya meliputi bagian dari wilayah yang berada di dalam kecamatan Kandangan, Loksado, Padang Batung,Telaga Langsat, Angkinang, Simpur, dan wilayah Kalumpang.
Dalam administrasi wilayah pada masa kini, kawasan yang disebut Kandangan masuk didalam kawasan administrasi Kabupaten Hulu Sungai Selatan bersama dengan wilayah Nagara (Daha Utara, Selatan dan Barat).
Dalam perkembangannya istilah Kandangan dalam sistem administrasi modern menyusut hanya merupakan nama sebuah kecamatan yang terletak di pusat kota di Kabupaten Hulu Sungai Selatan yakni kelurahan Kandangan Kota, Kandangan Barat dan Kandangan Utara.
Nama Kandangan cukup populer di Kalimantan Selatan apalagi terkait sebutan “Urang Kandangan” (orang asal Kandangan) yang pasti membuat masyarakat di Kalimantan Selatan umumnya akan terbesit sebuah kelompok masyarakat yang gemar berkelahi, beringas dan sederet stigma negatif lainnya yang terbentuk atas kuatnya faktor sejarah yang melatari terbentuknya identitas sosial masyarakat setempat.
Terkait asal usul penamaan “Kandangan” sendiri ada beberapa versi yang beredar. Contohnya diceritakan bekas sentral Kandang Kerbau, kemudian ada lagi seperti dalam buku Adat Istiadat di Kalimantan Selatan yang menduga nama kandangan diambil karena bekas lokasi “kandang peteranakan kuda” kraton kesultanan Banjar. Namun beberapa cerita asal muasal penamaan nama “Kandangan” diatas tidak memiliki dasar yang kuat bahkan sebagian terkesan hanya dugaan tebak-tebakan yang amat lemah jika kita cari relevansinya disamping itu cerita tersebut juga sangat jarang dituturkan oleh para tetua apalagi jika dikaitkan pada bingkai adat, budaya dan sejarah maka dugaan tersebut dinilai hanya sebatas “pandiran warung”.
Misalnya dugaan asal muasal penaaman Kandangan yang terdapat di buku Adat dan Istiadat di Kalimantan Selatan (1977/1978) yang menyebutkan karena di daerah tersebut wajib memelihara kuda-kuda keraton maka dinamakan Kandangan, namun pernyataan itu ambigu ketika diakhir paragraf disebutkan selain di Kandangan daerah-daerah peternakan kuda keraton Banjar juga berada di daerah yang antara lain di daerah Tanah Laut, Riam kanan-kiri. Jika alasannya demikian seharusnya daerah-daerah tersebut juga bernama Kandangan.
Disamping itu asal muasal toponim nama “Kandangan” yang paling sering penulis dengar dari kaum generasi tua di Kandangan dan juga para budayawan lokal di Kandangan. Asal muasalnya adalah terkait sekelompok orang/masyarakat yang dulu tidak sependapat dan menentang arah kebijakan politik elite keraton Nagara Dipa yang akhirnya mengasingkan diri ke wilayah sekitar Batang Amandit serta mengandang (mengurung) diri mereka pada sebuah bangunan kayu serupa benteng. Orang-orang di dalam kandang membentengi diri mereka dari serangan pihak lain, terutama pihak kerajaan, namun mereka juga dianggap sangat beringas dalam melakukan perlawanan. Kelak merekalah kemudian yamg dikenal dengan julukan “urang Kandangan” atau orang-orang yang berada didalam kandang (benteng). Orang-orang di dalam Kandangan inilah yang diduga kuat menjadi nenek moyang para penduduk yang meninggali beberapa tempat dibantaran sungai Amandit walaupun desa-desa mereka tidak berbenteng lagi.
Menarik hal ini jika kita kuliti satu persatu untuk melihat lebih jelas folklore versi ini dalam kacamata analisis budaya dan sejarah. Yang pertama, didalam folklore terkait asal muasal toponim nama “Kandangan” versi ini selain mayoritas dituturkan oleh para generasi tua orang Kandangan, juga diamini para budayawan bahkan masih tetap diyakini hingga kini oleh sebagian masyarakat tradisional di Kandangan sendiri.
Jika kita analisis lebih mendalam penyebutan nama Kandangan sebagai sebuah nama “wilayah” itu baru populer di akhir abad 19 atau akhir 1800-an. Sebelumnya wilayah yang kita kenal dengan sebutan Kandangan ini dahulunya lebih umum disebut berdasarkan nama sungainya yakni Sungai Amandit atau Batang Amandit/Hamandit.
Contohnya saat era perang Banjar yang terjadi di wilayah Batang Amandit, laporan-laporan kolonial lebih banyak menyebutkan nama wilayahnya langsung contohnya seperti Amawang, Tabihi, Karang Jawa, Benteng Madang, Sungai Kudung dan sebaliknya sangat jarang serta sulit untuk kita temukan sebutan “Kandangan” sebagai sebutan untuk sebuah wilayah/kawasan. Bahkan setelah kerajaan Banjar di hapus wilayah ex Lalawangan Batang Hamandit ini berubah menjadi Distrik Amandit sebagai tindak lanjut dari pembentukan Karesidenan Afdeling Selatan dan Timur Borneo di tahun 1865. Baru setelah keluar Staatsblad tahun 1898 nomor 178 terkait pembaharuan adminiatrasi munculah Afdeling Kandangan sebagai sebuah penamaan sebuah wilayah.
Afdeling Kandangan sendiri beribukota di district Amandit yang kemudian membawahi beberapa onderafdeing yang ada di kawasan Hulu Sungai yakni :
1. Onderafdeling Amandit dan Negara terdiri dari District Amandit dan District Negara.
2. Onderafdeling Banua Ampat dan Margasari, terdiri dari District Banua Ampat dan District Margasari.
3. Onderafdeling Batang Alai dan Labuan Amas, terdiri dari District Batang Alai dan Labuan Amas
Jika kita kombinasikan data diatas dengan menggali sudut pandang kepada unsur mentifact maka penulis berasumsi, kemungkinan besar sebutan Kandangan dulunya bukan merujuk khusus untuk menyebut nama sebuah kawasan atau wilayah akan tetapi lebih kepada julukan kepada orang-orang atau masyarakat yang berdiam disekitar bantaran kali Amandit yang mana pendahulu mereka adalah “urang Kandangan” (orang didalam Kandang/benteng) yakni sekelompok masyarakat pada masa lalu yang mengandang atau memagar/membentengi komunitas masyarakatnya dari serangan pihak luar ataupun kerajaan karena mereka dianggap penentang kebijakan politik kerajaan yang berkuasa saat itu dan upaya membentengi hunian mereka adalah bentuk dari sistem pertahanan yang mereka lakukan.
Unsur memberi “kandang” atau membuat benteng kayu pada sebuah desa adalah konsep yang sangat menarik. Mengingat hal tersebut kemudian banyak diterapkan oleh beberapa klan-klan dayak di dusun hulu maupun dayak besar tempo hulu hingga akhir abad ke-19. Ketika pada masa asan(g) atau masa dimana tradisi perburuan kepala (ngayau) dan “peperangan” antar klan/kelompok pada masyarakat dayak masih kerap terjadi hingga sebagian besar dari desa-desa mereka dibuat berada dalam sebuah benteng kayu yang kokoh dan konsep ini dikenal sebagai Kotta/Kuta yakni desa berbenteng. Terkait desa-desa berbenteng milk kelompok-kelompok dayak ini seorang pernah digambarkan dalam laporan seorang Geolog dan Naturalis Jerman yang bekerja untuk Belanda yakni CALM Schwaner yang melakukan ekspedisi menembus pedalaman Borneo pada tahun 1843–1847. Schwaner mencatat ada puluhan “Kuta/Kotta” (Desa Berbenteng) yang tersebar dari sepanjang Sungai Barito, Kapuas dan Kahayan.
Sangat memungkinkan apabila pola desa berbenteng yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat Dayak di Tanah Dusun dan Dayak Besar itu sebagai gambaran yang paling mendekati kepada fakta budaya yang terkandung dalam folklor asal muasal toponim “Kandangan” yang awalnya merupakan julukan kepada masyarakat desa berbenteng di bantaran Amandit.
Hingga kini mungkin kita masih kesulitan untuk menentukan dan mengidentifikasi dimanakah posisi “desa berbenteng” yang disebutkan dalam tradisi tutur masyarakat setempat. Namun seberkas informasi bak sebuah serpihan puzzle juga dapat memberikan kita referensi menarik yakni hasil dari survei arkeologi yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin, terkait pelacakan pemukiman kuno. Dari survei arkeologi tersebut ditemukan sisa pemukiman kuno di sepanjang aliran sungai Nagara yakni di Panggadingan, Tambak Bitin, Bajayau yang diduga bekas hunian penduduk Kerajaan Daha, namun hunian yang jauh lebih tua ditemukan di aliran Sungai Amandit yakni di situs Jambu Hulu dan Jambu Hilir. Beberapa tinggalan arkeologis ditemukan disitus tersebut (Sunarningsih, 2013).
Walau sedikit sekali informasi yang kita peroleh terkait tinggalan arkeologis. Namun hal tersebut cukup memberikan kita titik terang terkait adanya “hunian kuno” yang pernah berdiri di sekitar Sungai Amandit. Dari penelitian tahun 2007 dapat di ketahui umur situs berdasarkan hasil analisis C14 (sampel arang) situs Jambu Hilir diperkirakan sudah ditempati sekitar 1000 SM hingga era kolonial Belanda. Begitu juga dengan situs hunian kuno Jambu Hulu ± 1 KM dari situs Jambu Hilir. Setidaknya dari temuan ini kita mendapati informasi bahwa disekitar kali Amandit jauh sejak masa lampau sudah ada sebuah komunitas hunian manusia modern.
Melihat dari analisis sosiofact, mentifact dan artifact/jejak arkeologis tersebut kita bisa saja merangkainya menjadi sebuah hipotesa awal yang berkesinambungan bahwasanya pada masa lalu di wilayah Batang Hamandit diduga kuat ada sekelompok masyarakat yang membangun desanya dengan sebuah dinding / benteng yang kokoh untuk mengandangi/memagari hunian mereka dari bahaya yang datang dari luar karena yang paling krusial mereka adalah kelompok masyarakat yang dalam sebuah folklore lokal adalah penentang kerajaan yang berkuasa pada masa itu. Karena kepiawaian mereka dalam bertempur dan mempertahankan diri serta pola hunian mereka yang serupa “Kandang” atau Kota/Kutta yang kita kenal juga diaplikasikan oleh masyarakat dayak hingga menjelang akhir 1800-an di Kalimantan Tengah. Maka kelompok masyarakat ini di kenal dengan julukan “urang Kandangan” (orang di dalam kandang) yang kelak akan menurunkan penduduk-penduduk yang mendiami kawasan sekitar batang Hamandit yang dikenal akan stigmanya yang terkenal suka berkelahi dan tangguh dalam hal bertempur di medan peperangan. Analisis ini selanjutnya dapat kita uji dan kita gali lebih jauh bagaimana kesinambunganya antara satu dan yang lain dan validasi dari kekuatan data dukung yang jauh lebih padat dan valid serta analisis yang objektif (*).