Oleh : Maulana Ahadi
Kue Surabi atau wadai surabi (Bahasa Banjar) merupakan kue yang umum terdapat di berbagai daerah di Indonesia, penamaan kue ini diberbagai daerah pun beragam, ada yang menyebutnya kue serabi, apam serabi dan Surabi. Semua merujuk kepada kue dengan bahan utama tepung beras dan kelapa muda tersebut.
Banyak berbagai sumber mengulas tentang olahan kue yang satu ini, salah satu olahan kue serabi yang terkenal yaitu dari Bandung, Solo maupun tempat lain di Nusantara. Semua sepakat bahwa olahan yang satu ini terkenal dengan kelezatannya. Jika anda berkunjung ke daerah-daerah yang telah disebutkan di atas anda akan dengan sangat mudah menemukannya, sebab kue tersebut menjadi ciri khas makanan daerah itu.
Namun anda akan mendapati sesuatu yang berbeda jika berkunjung ke daerah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, anda akan menemukan beberapa jenis kue serabi yang serupa yaitu kue apam batil, kue dengan jenis olahan serupa namun tidak sama. Dari bahan utama pembuatan apam batil sebenarnya tidak ada perbedaan, bahkan cara pengolahannya, hanya saja kalau cara pembuatan apam batil harus melalui proses pengembangan dan didiamkan dahulu sebelum bisa dimasak.
berbeda dengan Surabi khas Hulu Sungai Selatan yang akan kita bahas kali ini, sebab surabi dari daerah ini memiliki keunikan tersendiri. Penulis mengambil beberapa tempat yang berada di Kabupaten Hulu Sungai Selatan sebagai objek sampel, agar pembaca bisa menjadikan perbandingan di daerahnya masing-masing. Apa yang hal-hal yang menarik tersebut ? mari kita bahas bersama.
Surabi hanya dibuat ketika acara kematian
Ada kebiasaan unik yang sebenarnya tidak pernah diperhatikan masyarakat, yaitu di daerah Kecamatan Padang Batung dan Kecamatan Angkinang. Mitos uniknya adalah kue ini hanya akan dibuat ketika ada salah seorang yang meninggal dunia, warga setempat, khususnya pelayat perempuan akan bergotong royong membuat makanan dan kue Surabi.
Setiap pelayat Perempuan yang datang secara bersama-sama tanpa dikomando keluarga mayat akan membuat kue Surabi ini, yang bahan bakunya terdiri dari tepung beras, kelapa muda dan sedikit garam. Makanan ini biasanya akan disuguhkan untuk pelayat laki-laki yang sedang gotong royong menggali kubur, maupun yang sedang gotong royong menyiapkan pemakaman.
Penulis pernah bertanya kepada beberapa orang tua, mengapa kue Surabi menjadi kue khas kematian, serta adakah mitos turun-temurun tentang keharusan pembuatan kue Surabi ketika orang meninggal dunia. Akan tetapi tidak ada ada jawaban pasti mengapa dan kapan dimulainya tradisi ini.
Surabi “enak” pertanda akan ada lagi kematian
Mitos unik lainnya yang sering penulis dengar langsung dari masyarakat yang melayat adalah, ketika kue Surabi tersebut disuguhkan oleh para perempuan dalam keadaan panas, dengan taburan gula pasir disamping serabinya.
Maka pelayat laki-laki dipersilakan untuk mencicipinya, setelah mencicipinya kebiasaan ada dari beberapa orang yang berkata, “kue surabinya enak” sambil berujar, kata orang dahulu kalau kue Surabinya enak berarti pertanda akan ada lagi kematian setelah ini, tapi entahlah, namun mitos ini selalu menjadi sesuatu yang sangat menarik. meskipun hal tersebut tidak bisa dibuktikan, akan tetapi budaya ini terus berkembang di masyarakat.
Pamali memasak surabi di balik
Mitos yang terakhir adalah kepercayaan dari masyarakat bahwa ketika membuat kue Surabi, maka dilarang untuk membaliknya, maksudnya untuk memasaknya diharuskan hanya satu bagian bawah saja. Sebab menurut orang tua dahulu “pamali”, entah pamali yang seperti apa yang dimaksudkan.
Namun orang tua dahulu berkeyakinan bahwa sesuatu yang di larang orang-orang terdahulu harus dipatuhi, karena patuh itu adalah bentuk kebaikan, terkait dengan apapun mitos yang berkembang dimasyarakat, tradisi unik ini harus tetap dipertahankan sebagai ciri khas kerakat mufakatan dimasyarakat.